Sungai
Karya Sapardi Djoko Damono
Aku bersahabat dengan sebuah sungai. Sejak muncul dari mata air di gunung itu, ia segera mengenalku dan tampaknya telah jatuh cinta padaku. Ia tidak bertepuk sebelah tangan. Tentu, aku tidak tahu mengapa. Pada hakikatnva, ia baik, meskipun perangainya suka berubah-ubah menurut penilaian sementara orang. Ia menjalani hidup yang sukar. Begitu muncul dari mata air, ia harus mencari jalannya sendiri, meliuk-liuk, terus bergerak agar tetap dianggap sebagai sungai.
Kami selalu bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang ditempuhnya. Katakanlah, kesukaran hidupnya. Lereng gunung, hutan, daerah yang terjal berbatu-batu lembah yang tak terbayangkan luasnya-malah di beberapa tempat ia harus terjun beberapa ratus meter tingginya. Dan orang merayakannya.
Di musim hujan, air yang tercurah dari langit sering tidak bisa ditampungnya. Bahkan, ia yang berasal dari mata air di gunung itu seolah-olah lenyap begitu saja dalam banjir yang konon bisa menghanyutkan apa saja. Tetapi ia tidak pernah mengeluh dan oleh karenanya aku, bahkan, semakin mencintainya. Di dalam perjalanan hidupnya yang sukar itu, aku senantiasa menemaninya. Aku diam-diam mencintai kelokan-kelokannya yang jika dipandang dari atas, tampak seperti lukisan abstrak. Aku diam-diam mengagumi suara riciknya ketika ia bernyanyi menghindari bebatuan, disaksikan oleh pohonan rindang yang suka tumbuh di sepanjang tepinya. Apalagi, jika kebetulan ada beberapa ekor burung yang berkicau di ranting-ranting pohonan itu. Aku, ter-utama sekali, suka diam-diam terpesona oleh gemuruh
suaranya. Ketika ia harus terjun dari ketinggian ratusan meter itu, mengingatkanku pada beberapa penggal sampak dalam gending Jawa dan simfoni Bethoven. Di beberapa tempat ,ia, bahkan, menggodaku untuk terjun ke airnya yang jernih dan tenang; ini adalah puncak cinta kita, katanya.
Singkat kata, kami senantiasa bersama-sama. Sampai pada suatu waktu ketika kami harus menyeberangi sebuah padang pasir. Ia tampak bingung gamang. Seperti putus asa. Bujukanku tak mempan; aku akan lenyap dan meninggalkanmu, katanya. Tidak, kau akan menyusup di bawah samudra pasir itu dan tidak lenyap, kataku. Aku sendiri, sebenarnya, agak ragu-ragu dan cemas. Namun, aku yakin bahwa cinta kami tidak mungkin dipisahkan, bahkan, oleh padang pasir. Kami pun ternyata memang harus berpisah meskipun tetap saling mencintai. Katanya, ia akan menyusup di bawah samudra pasir itu sementara aku diharapkannya untuk terus saja menempuh perjalananku. Dalam perjalananku di bawah matahari yang terik, yang selama ini telah menjadi saksi cinta kami, kami bisa saja bertemu dan melepas rindu. Untuk itu, aku harus menggali dan terus menggali, tanpa putus asa, agar bisa mencapainya jauh di bawah sana. Hanya dengan begitu, ia bisa muncrat ke atas dan menjelma genangan air kecil; itulah wujud cinta kami.
Kami selalu bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang ditempuhnya. Katakanlah, kesukaran hidupnya. Lereng gunung, hutan, daerah yang terjal berbatu-batu lembah yang tak terbayangkan luasnya-malah di beberapa tempat ia harus terjun beberapa ratus meter tingginya. Dan orang merayakannya.
Di musim hujan, air yang tercurah dari langit sering tidak bisa ditampungnya. Bahkan, ia yang berasal dari mata air di gunung itu seolah-olah lenyap begitu saja dalam banjir yang konon bisa menghanyutkan apa saja. Tetapi ia tidak pernah mengeluh dan oleh karenanya aku, bahkan, semakin mencintainya. Di dalam perjalanan hidupnya yang sukar itu, aku senantiasa menemaninya. Aku diam-diam mencintai kelokan-kelokannya yang jika dipandang dari atas, tampak seperti lukisan abstrak. Aku diam-diam mengagumi suara riciknya ketika ia bernyanyi menghindari bebatuan, disaksikan oleh pohonan rindang yang suka tumbuh di sepanjang tepinya. Apalagi, jika kebetulan ada beberapa ekor burung yang berkicau di ranting-ranting pohonan itu. Aku, ter-utama sekali, suka diam-diam terpesona oleh gemuruh
suaranya. Ketika ia harus terjun dari ketinggian ratusan meter itu, mengingatkanku pada beberapa penggal sampak dalam gending Jawa dan simfoni Bethoven. Di beberapa tempat ,ia, bahkan, menggodaku untuk terjun ke airnya yang jernih dan tenang; ini adalah puncak cinta kita, katanya.
Singkat kata, kami senantiasa bersama-sama. Sampai pada suatu waktu ketika kami harus menyeberangi sebuah padang pasir. Ia tampak bingung gamang. Seperti putus asa. Bujukanku tak mempan; aku akan lenyap dan meninggalkanmu, katanya. Tidak, kau akan menyusup di bawah samudra pasir itu dan tidak lenyap, kataku. Aku sendiri, sebenarnya, agak ragu-ragu dan cemas. Namun, aku yakin bahwa cinta kami tidak mungkin dipisahkan, bahkan, oleh padang pasir. Kami pun ternyata memang harus berpisah meskipun tetap saling mencintai. Katanya, ia akan menyusup di bawah samudra pasir itu sementara aku diharapkannya untuk terus saja menempuh perjalananku. Dalam perjalananku di bawah matahari yang terik, yang selama ini telah menjadi saksi cinta kami, kami bisa saja bertemu dan melepas rindu. Untuk itu, aku harus menggali dan terus menggali, tanpa putus asa, agar bisa mencapainya jauh di bawah sana. Hanya dengan begitu, ia bisa muncrat ke atas dan menjelma genangan air kecil; itulah wujud cinta kami.
Sumber: Malalah Kolom,2001
SOAL :
1. Identifikasikanlah unsur-unsur berikut dalam cerpen tersebut! (berikan kutipan yang mendukung)
a. Penokohan
b. Latar
c. Alur
d. Tema
e. Pesan
2. Menurut Anda ide cerpen tersebut berasal dari pengalaman seseorang atau bukan? Jelaskan!
a. Penokohan
b. Latar
c. Alur
d. Tema
e. Pesan
2. Menurut Anda ide cerpen tersebut berasal dari pengalaman seseorang atau bukan? Jelaskan!
JAWABAN :
1. Unsur Interinsik cerpen tersebut :
a) Penokohan:
a) Penokohan:
- Aku (watak penyayang terlihat betapa ia menyayangi sungai itu)
" Aku diam-diam mencintai kelokan-kelokanya, yang jika dipandang dari atas seperti
" Aku diam-diam mencintai kelokan-kelokanya, yang jika dipandang dari atas seperti
lukisan abstrak"
- sungai (tidak suka mengeluh)
“Tetapi ia tidak pernah mengeluh dan oleh karenanya aku, bahkan,semakin
mencintainya…”
b) Latar:
1. Latar Tempat:
a. Mata Air Gunung : "Sejak muncul di mata air gunung itu, ia sepertinya mengenalku dan
b) Latar:
1. Latar Tempat:
a. Mata Air Gunung : "Sejak muncul di mata air gunung itu, ia sepertinya mengenalku dan
tampaknya jatuh cinta padaku. Ia tidak bertepuk sebelah tangan"
b. Padang Pasir : "Sampai pada suatu waktu kami harus menyeberangi sebuah padang pasir"
c. Di beberapa Tempat : "Di beberapa tempat ia bahkan menggodaku untuk terjun ke airnya yang
b. Padang Pasir : "Sampai pada suatu waktu kami harus menyeberangi sebuah padang pasir"
c. Di beberapa Tempat : "Di beberapa tempat ia bahkan menggodaku untuk terjun ke airnya yang
jernih dan tenang"
2. Latar Waktu:
a. Musim Hujan : "Di musim hujan air tercurah dari langit sering tidak bisa ditampungnya. "
b. Siang Hari : " Dalam perjalananku di bawah matahari yang terik, tanpa putus asa, agar bisa
2. Latar Waktu:
a. Musim Hujan : "Di musim hujan air tercurah dari langit sering tidak bisa ditampungnya. "
b. Siang Hari : " Dalam perjalananku di bawah matahari yang terik, tanpa putus asa, agar bisa
mencapainya jauh di bawah sana."
c) Alur: Alur Maju >> Karena cerita tersebut menceritakan dari awal pertemuan hingga mereka terpisahkan.
"Sejak muncul di mata air gunung itu, ia sepertinya mengenalku dan tampaknya jatuh cinta padaku.
"Sejak muncul di mata air gunung itu, ia sepertinya mengenalku dan tampaknya jatuh cinta padaku.
Ia tidak bertepuk sebelah tangan. Tentu aku tidak tau mengapa. Pada hakekatnya ia baik
meskipun perangainya suka berubah-ubah, itu menurut penilaian sementara orang. Ia menjalani
hidup yang sukar. Begitu muncul dari mata air, ia harus mencari jalanya sendiri, meliuk-liuk, terus
bergerak agar tetap dianggap sebagai sungai."
d) Tema: Kecintaan dan kesetiaan terhadap alam.
"Tetapi ia tidak pernah mengeluh dan oleh karenanya
aku, bahkan semakin mencintainya” Di dalam perialanan hidupnya yang sukar itu,aku senantiasa
d) Tema: Kecintaan dan kesetiaan terhadap alam.
"Tetapi ia tidak pernah mengeluh dan oleh karenanya
aku, bahkan semakin mencintainya” Di dalam perialanan hidupnya yang sukar itu,aku senantiasa
menemaninya.Aku diam-diam mencintai kelokan-kelokan...."
e) Amanat: Di dalam kehidupan apabila ada pertemuan pasti akan ada perpisahan meskipun pada orang
yang saling mencintai.
"Kami pun akhirnya tetap harus terpisah meskipun saling mencintai. Katanya ia akan menyusup
"Kami pun akhirnya tetap harus terpisah meskipun saling mencintai. Katanya ia akan menyusup
di bawah samudra pasir itu sementara aku diharapkanya untuk terus melanjutkan perjalananku.
Dalam perjalananku di bawah matahari yang terik, tanpa putus asa, agar bisa mencapainya jauh
di bawah sana. Hanya dengan begitu ia akan muncrat ke atas dan menjelma genangan air kecil;
itulah wujud cinta kami"